Siapa yang tidak mengenal Masjidil Haram, masjid paling megah dan suci di muka bumi ini? Masjid yang terletak di pusat kota Makkah ini mampu menampung sekitar 850 ribu jamaah saat pelaksanaan ibadah haji, dan bahkan kapasitasnya bisa meningkat hingga dua juta jamaah ketika berlangsungnya shalat Idul Fitri atau Idul Adha.
Masjidil Haram merupakan tempat ibadah utama bagi seluruh umat Islam di dunia. Setiap Muslim dari berbagai penjuru bumi merindukan kesempatan untuk mengunjungi masjid ini, beribadah di dalamnya, dan menunaikan rukun Islam kelima, yaitu haji. Di tengah bangunan Masjidil Haram berdiri Ka’bah, kiblat yang menjadi arah shalat bagi umat Islam di seluruh dunia. Keberadaan Ka’bah ini menjadikan Masjidil Haram sebagai poros spiritual yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim.
Jika menengok jauh ke belakang, sejarah pembangunan Ka’bah dan Masjidil Haram bermula sejak zaman pra-sejarah, tepatnya saat Nabi Adam ‘Alaihissalam pertama kali diturunkan ke bumi. Saat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mendirikan Ka’bah sebagai tempat ibadah pertama di bumi. Awal pembangunan tersebut dilakukan di sebuah tempat yang disebut dengan nama Bakkah, sebuah wilayah di sudut kota Makkah.
Namun, pada masa kepemimpinan Nabi Nuh ‘Alaihissalam, Ka’bah mengalami kehancuran akibat banjir besar yang melanda, hingga akhirnya bangunan suci tersebut lenyap. Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali memberikan perintah kepada Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam bersama putranya Nabi Ismail ‘Alaihissalam untuk membangun kembali Ka’bah tepat di lokasi semula. Dengan penuh keikhlasan dan kerja keras, kedua nabi mulia ini mendirikan Ka’bah yang kita kenal hingga hari ini, lengkap dengan Hajar Aswad yang ditempatkan di salah satu sudutnya.
Tak hanya itu, Maqam Ibrahim pun berada di sekitar Ka’bah, sebagai tempat pijakan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam ketika beliau membangun Ka’bah. Proses pembangunan ini tentu tidak berjalan dengan mudah, mengingat pada masa itu masih banyak masyarakat yang menyembah berhala. Bahkan, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam harus menghancurkan berhala-berhala di sekitar Ka’bah agar tidak menjadi penghalang ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sejarah kemudian mencatat peristiwa penting lainnya yang terjadi pada tahun Gajah atau sekitar tahun 571 Masehi, tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada waktu itu, seorang penguasa dari Yaman bernama Abraha berniat menghancurkan Ka’bah dengan mengerahkan pasukan bergajah. Namun, niat jahat tersebut digagalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengirimkan burung ababil. Burung-burung itu menjatuhkan batu dari neraka kepada pasukan bergajah, sehingga mereka binasa. Kisah ini diabadikan dalam Surah Al-Fil (QS. 105: 1–4):
﴿ أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ ٱلْفِيلِ ﴾ – “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap pasukan bergajah?”
﴿ أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ ﴾ – “Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?”
﴿ وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ ﴾ – “Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong.”
﴿ تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍۢ مِّن سِجِّيلٍۢ ﴾ – “Yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar.”
Seiring berjalannya waktu, luas bangunan Masjidil Haram terus bertambah menyesuaikan dengan kebutuhan jamaah yang semakin meningkat. Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, luas masjid ini diperkirakan hanya sekitar 2.000 meter persegi. Setelah beliau wafat, proses pelebaran terus dilakukan, di antaranya pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu yang memperluasnya menjadi 2.040 meter persegi, dan kemudian oleh Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘Anhu hingga mencapai 4.050 meter persegi.
Perkembangan arsitektur Masjidil Haram tidak hanya sebatas pada pelebaran area, namun juga mencakup renovasi besar-besaran. Penambahan dinding, pintu, dan menara dilakukan untuk menunjang kenyamanan jamaah. Pada masa kekhalifahan Utsmaniyah, di bawah kepemimpinan Sultan Salim al-Utsmani, Masjidil Haram mengalami renovasi besar dengan bantuan arsitek Turki terkenal, Mimar Sinan. Kubah masjid diganti, pilar-pilar diperkuat, dan bagian dalam masjid dihiasi kaligrafi indah. Bahkan, jumlah menara ditambah menjadi tujuh menara megah yang menjulang tinggi.
Memasuki tahun 1889, bangunan Masjidil Haram semakin dikenal karena sentuhan seni arsitektur yang menggabungkan pencahayaan, permainan bayangan, serta sirkulasi udara dan air yang menenangkan. Filosofi kehangatan dan kesejukan terasa kuat dalam desainnya, menjadikan Masjidil Haram sebagai simbol arsitektur Islam yang agung.
Selanjutnya, pada masa kekuasaan kerajaan Arab Saudi, perombakan kembali dilakukan secara besar-besaran. Dari tahun 1955 hingga 1973, Masjidil Haram direnovasi dengan mengganti lantai menjadi marmer, menambahkan tiga menara baru, dan merobohkan empat tiang peninggalan Utsmaniyah. Bukit Shafa dan Marwa juga diintegrasikan ke dalam struktur masjid.
Ketika Raja Abdullah bin Abdulaziz naik tahta, proyek besar perluasan masjid kembali dijalankan untuk meningkatkan kapasitas hingga mampu menampung dua juta jamaah. Pembangunan ini berlangsung dari tahun 2011 dan diperkirakan rampung pada tahun 2020. Setelah itu, estafet pembangunan dilanjutkan oleh putra beliau, Raja Salman bin Abdul Aziz, yang turut menambahkan berbagai fasilitas pendukung seperti penginapan jamaah dan terowongan akses langsung ke masjid.
Saat ini, Masjidil Haram memiliki total 129 pintu, di antaranya terdapat 4 pintu utama dan 45 pintu yang dibuka selama 24 jam. Bahkan tersedia pintu khusus bagi jamaah difabel serta tujuh buah eskalator untuk mempermudah akses ke lantai atas.
Kekaguman terhadap Masjidil Haram bukan hanya karena besarnya bangunan, tetapi juga karena keistimewaan tempat-tempat suci yang ada di dalamnya seperti Ka’bah, Hijr Ismail, Maqam Ibrahim, Bukit Shafa dan Marwa, serta sumur Zamzam. Semua ini menyatu dalam satu tempat yang membuat siapapun yang melihatnya akan terucap: Subhānallāh.
Semoga pengetahuan ini semakin menguatkan keinginan kita untuk menunaikan ibadah haji dan umrah ke Baitullāh. Tidak ada yang mustahil selama kita istiqamah mengikuti ajaran Rasulullāh Shallallāhu ‘Alaihi Wasallam. Semoga kita semua diberikan kemudahan dan kesempatan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berkunjung ke tanah suci. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.