Di Indonesia, penyematan gelar “Haji” untuk laki-laki dan “Hajjah” untuk perempuan yang telah menunaikan ibadah haji adalah sebuah tradisi sosial keagamaan yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat. Tradisi ini tidak hanya dikenal luas, tetapi juga dihormati dan dijadikan sebagai bentuk penghargaan atas keberhasilan seseorang dalam menjalankan salah satu rukun Islam yang sangat mulia.
Mengacu pada penjelasan resmi dari Kementerian Agama Republik Indonesia, penggunaan gelar ini memiliki dasar historis dan sosial yang panjang. Pada masa lalu, perjalanan menuju Tanah Suci Makkah bukanlah hal yang mudah bagi umat Islam di Nusantara. Para jemaah haji harus menempuh perjalanan yang sangat panjang, melewati samudra yang luas, menghadapi badai dan cuaca ekstrem, serta menghindari ancaman perompak. Tak hanya itu, mereka pun harus menjelajahi padang pasir yang panas dan gersang selama berbulan-bulan sebelum sampai ke Kota Makkah Al-Mukarramah, tempat suci umat Islam yang di dalamnya terdapat Ka’bah, kiblat seluruh kaum Muslimin di dunia.
Perjuangan dan risiko besar inilah yang membuat mereka yang berhasil kembali ke Tanah Air dengan selamat dianggap telah melewati ujian luar biasa. Maka tak heran jika masyarakat Indonesia memberikan gelar “Haji” atau “Hajjah” sebagai bentuk penghormatan dan simbol keberhasilan atas ibadah agung tersebut. Gelar ini tidak sekadar formalitas, tetapi menjadi simbol pengakuan dan kebanggaan sosial atas keberhasilan menjalankan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Gelar Haji dalam Perspektif Sosial, Budaya, dan Sejarah
1. Perspektif Keagamaan
Dalam ajaran Islam, ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang memiliki kemampuan secara fisik, finansial, dan keamanan. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…” (Q.S. Ali Imran: 97)
Karena tidak semua Muslim dapat melaksanakan ibadah ini, maka status sebagai haji menjadi sangat istimewa. Dahulu, sebelum adanya kemudahan transportasi seperti sekarang, hanya segelintir orang yang mampu menunaikannya. Namun sejak awal abad ke-20, perkembangan teknologi dan dukungan perusahaan pelayaran milik Belanda mempermudah jemaah Nusantara dalam berhaji. Meski perjalanan menjadi lebih cepat, namun gelar haji tetap dilestarikan sebagai bentuk penghargaan terhadap ibadah tersebut.
2. Perspektif Budaya
Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, cerita dan kisah mengenai perjalanan haji selalu mendapat tempat khusus. Kisah-kisah ini diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi bagian dari identitas sosial. Banyak tokoh masyarakat dihormati karena menyandang gelar haji, dan status ini sering kali diasosiasikan dengan kebijaksanaan, keteladanan, dan ketaatan dalam beragama.
Pengalaman spiritual dan emosional yang didapat selama berhaji menjadikan gelar ini bukan sekadar formalitas, tetapi juga sebagai simbol kesungguhan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā. Tak jarang, para haji dianggap sebagai panutan dalam masyarakat, baik dalam aspek keagamaan maupun sosial.
3. Perspektif Sejarah Kolonial
Tradisi gelar haji di Indonesia juga memiliki keterkaitan dengan sejarah kolonialisme. Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial melihat para haji sebagai kelompok yang memiliki potensi besar dalam menggerakkan semangat perlawanan terhadap penjajahan. Oleh sebab itu, pada tahun 1872, Belanda membuka Konsulat Jenderal di Arab Saudi guna memantau para jemaah dari Hindia Belanda.
Sebagai bagian dari strategi pengawasan, para jemaah diwajibkan mengenakan identitas dan menyandang gelar “Haji”, sehingga mudah dikenali oleh otoritas kolonial. Tujuan utamanya adalah untuk mengawasi gerak-gerik para jemaah selama mereka berada di Tanah Suci, sekaligus mengendalikan potensi penyebaran gagasan anti-penjajahan yang bisa timbul dari interaksi antarumat Islam dari berbagai belahan dunia.
Penutup
Penyematan gelar “Haji” atau “Hajjah” bukan hanya tradisi kosong, tetapi merupakan penghormatan yang lahir dari perjuangan spiritual dan fisik yang panjang. Ia mencerminkan nilai keagamaan yang tinggi, akar budaya yang kuat, serta sejarah panjang umat Islam di Indonesia dalam mempertahankan identitas dan semangat keislaman di tengah berbagai tantangan zaman.
Ingin menjadi bagian dari jejak spiritual menuju Tanah Suci Makkah?
Mari wujudkan impian beribadah haji dan umrah bersama Nabawi Mulia, penyelenggara perjalanan umrah terpercaya dan profesional.
🌐 Kunjungi: https://nabawimulia.co.id/
InsyaAllah, perjalanan Anda akan lebih nyaman, aman, dan penuh keberkahan.