Bulan Muharram adalah salah satu bulan suci dalam kalender Islam dan merupakan bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah. Bulan ini memiliki kedudukan istimewa dalam Islam, dikenal sebagai salah satu dari empat bulan haram (suci) di mana segala bentuk peperangan dan pertumpahan darah dilarang. Bagaimana dengan pernikahan, bolehkah menikah di bulan Muharram?
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk menikah dalam surah An-Nur ayat 32,
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٣٢
Artinya: “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Hukum Menikah di Bulan Muharram
Syariat Islam tidak menetapkan waktu-waktu khusus untuk melangsungkan pernikahan. Dijelaskan dalam buku 79 Hadits Populer Lemah dan Palsu karya Rachmat Morado Sugiarto, menikah pada bulan apa pun dibenarkan dan diperbolehkan.
Adapun, terkait keyakinan yang beredar di masyarakat bahwa menikah pada bulan Muharram (hari kesepuluh) dan hari tasyrik dilarang, tidak ada landasan dalil terkait larangan tersebut.
Mengutip buku Indahnya Pernikahan & Rumahku, Surgaku karya Ade Saroni, larangan-larangan yang serupa sebenarnya juga telah ada sejak zaman jahiliah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyanggah keyakinan masyarakat jahiliah dengan bersabda,
“Tida ada (wabah yang menyebar dengan sendirinya, tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan tidak ada tanda kesialan pada bulan Shafar, menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari)
Menurut Syekh Abu Bakar Syattha at-Dimyathi hadits di atas bertujuan untuk menerangkan bahwa keyakinan masyarakat jahiliah mengenai suatu yang dapat mempengaruhi dengan sendirinya (baik keburukan atau kebaikan) adalah anggapan yang keliru. Kejadian apapun yang aada di bumi ini, harus diyakini sebagai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sudah tercatat sejak zaman azali.
Segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini dijelaskan dalam surah At Tagabun ayat 11,
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ١١
Artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam surah At-Taubah ayat 51,
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ ٥١
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.”
Malik Al-Mughis dalam buku Baiti Jannati Keluarga Yang Diberkahi Allah menjelaskan kepercayaan akan bernasib sial dinamakan sebagai thiyarah. Maka percaya terhadap thiyarah atau tahayul bukanlah sifat seorang muslim yang mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.” (HR Abu Dawud)