Hukum Memberi Upah Panitia Kurban dari Hewan Kurban

by | Jun 6, 2025 | Info

Setiap kali datang Hari Raya Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā dan meneladani pengorbanan Nabi Ibrāhīm ʿalayhis salām. Dalam pelaksanaannya, umumnya dibentuk panitia kurban yang bertugas mengatur jalannya penyembelihan, pembagian, serta distribusi daging kepada mereka yang berhak menerimanya.

Namun, muncul pertanyaan yang cukup sering dibahas setiap musim kurban: Apakah panitia kurban boleh menerima bagian dari hewan kurban sebagai bentuk upah atas jasa mereka? Berikut ini penjelasan hukumnya secara rinci.

Tidak Ada Dalil Langsung Mengenai Panitia Kurban

Dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasūlullāh Ṣallallāhu ʿalayhi wa sallam, tidak ditemukan dalil yang secara eksplisit menyebutkan keberadaan panitia kurban. Meski begitu, pembentukan panitia dalam praktik modern dianggap penting untuk mempermudah pelaksanaan ibadah kurban, terutama dalam hal logistik, penyembelihan, hingga distribusi daging kurban secara merata dan tertib.

Mengutip penjelasan dari Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, sebagaimana dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, panitia kurban tidak dapat disamakan dengan amil zakat, melainkan hanya berfungsi sebagai wakil dari shohibul qurban (orang yang berkurban). Oleh karena itu, panitia tidak dibenarkan mengambil bagian dari hewan kurban sebagai imbalan atau bayaran.

Hukum Memberi Upah kepada Tukang Jagal dari Hewan Kurban

Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan memberikan bagian dari hewan kurban, baik berupa daging, kulit, maupun bagian lainnya, kepada penyembelih atau tukang jagal sebagai bentuk bayaran atau upah atas jasa mereka.

Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ʿAlī bin Abī Ṭālib Raḍiyallāhu ʿanhu, beliau berkata:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ فِي الْجَزَّارِ مِنْهَا شَيْئًا، وَقَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Rasūlullāh Ṣallallāhu ʿalayhi wa sallam memerintahkanku untuk mengurus penyembelihan hewan kurban beliau dan membagikan seluruh bagian hewan tersebut, termasuk kulit dan pelananya. Dan beliau melarang memberikannya kepada penyembelih sebagai bayaran sedikit pun.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain juga disebutkan:

كُنَّا نُعْطِي الجَازِرَ أُجْرَتَهُ مِن أَنْفُسِنَا
“Kami membayar tukang sembelih dengan uang dari kami sendiri.” (HR Muslim)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa upah penyembelih atau pekerja dalam kurban harus berasal dari sumber lain, bukan dari bagian hewan kurban itu sendiri.

Pendapat Ulama tentang Larangan Ini

Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh para ulama. Syaikh ʿAbdullāh Al-Bassām dalam Tawdīḥul Aḥkām menyatakan bahwa tukang jagal hanya boleh menerima daging kurban jika diberikan sebagai sedekah atau hadiah, bukan sebagai kompensasi atas jasanya.

Ibnu Qāsim, dalam Hāsyiyah Al-Bājūrī Asy-Syāfiʿī, menyebutkan:

“Ḥarām menjadikan bagian hewan kurban sebagai upah bagi jagal.”

Al-Bājūrī juga menjelaskan bahwa memberikan daging kurban sebagai upah menyerupai transaksi jual beli, dan hal itu dilarang dalam konteks pelaksanaan kurban.

Bagaimana Jika Ada Kesepakatan Sejak Awal?

Dalam Fatḥul Muʿīn karya Zainuddin Al-Mālibārī, dijelaskan bahwa jika ada kesepakatan sejak awal bahwa seseorang akan menerima sebagian dari daging kurban sebagai upah, maka kesepakatan itu tidak sah dan tidak diperbolehkan. Hal ini karena bertentangan dengan tujuan utama ibadah kurban sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā dan bukan sebagai sarana transaksi.

Contohnya, jika sejak awal seorang penyembelih atau anggota panitia disepakati akan menerima bagian hewan kurban sebagai bayaran, maka hal itu termasuk perbuatan yang dilarang dan membuat ibadah kurban menjadi tidak sempurna.

Bolehkah Panitia Tetap Menerima Daging Kurban?

Meski tidak boleh menerima sebagai bentuk upah, panitia kurban tetap diperbolehkan menerima daging kurban dengan beberapa ketentuan berikut:

  • Jika panitia termasuk orang miskin, maka ia boleh menerimanya dengan status sedekah.

  • Jika panitia adalah orang mampu, maka boleh menerima sebagai bentuk iṭʿām (pemberian makanan dalam rangka ibadah atau syiar).

Yang terpenting, daging tersebut bukan sebagai bayaran atas jasa, melainkan sebagai pemberian dari shohibul qurban sebagai bentuk kebaikan dan silaturahmi.

Penutup

Memahami hukum-hukum terkait pelaksanaan kurban sangat penting agar ibadah ini benar-benar sesuai dengan syariat Islam dan diterima di sisi Allah Subḥānahu wa Taʿālā. Baik shohibul qurban maupun panitia hendaknya menjaga niat dan tata cara kurban agar tetap dalam koridor yang telah diajarkan oleh Rasūlullāh Ṣallallāhu ʿalayhi wa sallam.