Bilal bin Rabah adalah salah satu sosok paling masyhur dalam sejarah Islam. Ia bukan hanya dikenal sebagai sahabat yang sangat dekat dan setia kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi juga menjadi simbol keadilan sosial, kesetaraan, dan penolakan terhadap rasisme. Bilal berasal dari Habsyah (Ethiopia) dan termasuk dalam golongan budak berkulit hitam. Keislamannya menjadi bukti nyata bagaimana ajaran Islam memuliakan manusia tanpa memandang status atau warna kulit.
Bilal lahir di kota Makkah sekitar tahun 680 Masehi dari pasangan Rabah dan Hamamah. Sejak kecil, ia hidup sebagai budak di bawah kekuasaan Umayyah bin Khalaf, salah satu tokoh Quraisy yang sangat menentang dakwah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Bilal menyatakan keislamannya, Umayyah begitu marah dan menyiksanya dengan sangat kejam agar ia meninggalkan agama barunya. Namun, kecintaan Bilal terhadap Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatnya tetap teguh dalam keimanan, meski harus mengalami penderitaan berat. Dalam penyiksaan itu, Bilal hanya mampu mengucap, “Ahad, Ahad!” yang berarti “Allah itu Satu, Allah itu Satu.”
Mendengar penderitaan yang dialami Bilal, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, untuk membebaskannya dari perbudakan. Abu Bakar pun menebus Bilal dan membebaskannya, menjadikan kebebasan itu sebagai hadiah pertama yang diberikan Islam kepadanya. Sejak saat itu, Bilal menjadi sahabat setia Rasulullah dan selalu berada di sisinya.
Bilal termasuk dalam barisan pertama yang memeluk Islam dan turut berhijrah bersama Nabi ke Madinah. Ia juga terlibat dalam pertempuran besar umat Islam, seperti Perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Dalam Perang Badar, ia bahkan berhasil membunuh mantan tuannya, Umayyah bin Khalaf, yang dahulu menyiksanya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok pertama dalam sejarah dunia yang secara terang-terangan menyuarakan kesetaraan manusia tanpa membedakan suku, warna kulit, atau bangsa. Dalam khutbahnya yang dihadiri lebih dari 120.000 sahabat saat haji Wada’, beliau bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu dan bapak kalian satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, tidak pula orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula orang kulit putih atas orang kulit hitam, dan tidak pula orang kulit hitam atas orang kulit putih kecuali karena ketakwaan.”
Nabi pun memilih Bilal sebagai salah satu sahabat yang dimuliakan. Sosok Bilal yang menonjol dalam sejarah Islam menjadi bukti kuat tentang pentingnya pluralisme dan keadilan dalam agama ini. Bilal juga mendapat kehormatan besar ketika Abdullah bin Ziyad bermimpi diajari lafaz azan, lalu Nabi menyetujuinya dan menunjuk Bilal untuk mengumandangkan azan pertama di Madinah. Sejak saat itu, Bilal dikenal sebagai Muazin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Salah satu kehormatan yang sangat tinggi diterima Bilal setelah Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) pada tahun 8 Hijriah. Ketika Makkah telah berada dalam kendali kaum Muslimin, dan orang-orang berkumpul di sekitar Ka’bah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan azan. Inilah azan pertama yang dikumandangkan di kota suci Makkah.
Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal:
“Wahai Bilal, amal apa yang engkau lakukan sehingga aku mendengar suara langkahmu di surga?”
Bilal menjawab, “Setiap kali aku berwudhu, aku selalu melaksanakan dua rakaat shalat sebagai tahiyyatul wudhu.”
Bilal juga merupakan salah satu dari Ashabussuffah, yaitu para sahabat yang tinggal di beranda Masjid Nabawi setelah hijrah dan mempelajari ilmu-ilmu agama langsung dari Nabi. Ia pun turut meriwayatkan sejumlah hadits. Ketika Raja Najasyi dari Habsyah mengirimkan hadiah berupa tiga tombak kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satunya diberikan kepada Bilal sebagai bentuk penghormatan.
Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bilal merasa berat tinggal di Madinah tanpa kehadiran orang yang paling ia cintai. Ia pun meminta izin kepada Khalifah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu untuk pergi berjihad di Syam (wilayah yang kini meliputi Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina). Ia hanya mengumandangkan azan dua kali setelah itu: ketika Khalifah Umar bin Khattab berkunjung ke Syam, dan ketika Bilal kembali mengunjungi makam Rasulullah di Madinah. Saat azan itu dikumandangkan, banyak sahabat yang menangis terharu mengenang masa kebersamaan mereka dengan Nabi.
Pada akhirnya, Bilal menghabiskan sisa hidupnya di Damaskus, Syiria. Ia wafat pada tahun 18 Hijriah dalam usia 64 tahun dan dimakamkan di pemakaman Bab al-Saghir, dekat Masjid Umayyah. Di akhir hayatnya, sang istri menangis pilu, namun Bilal justru menjawab dengan penuh kebahagiaan:
“Besok aku akan bertemu dengan orang yang aku cintai, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.”
Islam telah mengangkat derajat Bilal hingga disebut oleh Umar bin Khattab sebagai Sayyiduna (pemimpin kami). Namanya akan selalu dikenang sebagai simbol perjuangan, pengorbanan, dan keteguhan dalam iman.