Di tengah derasnya arus manusia yang melakukan thawaf mengelilingi Baitullah, terdapat sebuah amanah suci yang terus berpindah tangan dari generasi ke generasi, tanpa pernah kehilangan arah atau kehormatan. Amanah itu adalah kunci Ka’bah—sebuah benda sederhana secara fisik, hanya berupa logam sepanjang kurang lebih 35 sentimeter, namun mengandung makna yang sangat mendalam. Ia bukan sekadar alat pembuka pintu, melainkan simbol otoritas spiritual, warisan sejarah, dan titipan kenabian yang harus dijaga dengan penuh rasa takut kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā.
Sejarah berlanjut ketika pada tanggal 21 Juni 2024, Syaikh Shalih bin Zain al-‘Abidin al-Syaibi—penjaga ke-77 Ka’bah sejak Fathu Makkah—menghembuskan napas terakhirnya. Tak lama setelah masa berkabung selama tiga hari usai, sesuai tradisi keluarga, amanah agung ini diteruskan kepada Syaikh Abdul Wahhab bin Zain al-‘Abidin al-Syaibi, yang menjadi sâdin (penjaga Ka’bah) ke-78, atau yang ke-109 jika ditelusuri sejak masa Qushay bin Kilab, leluhur Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ʿalaihi wa Sallam. Kedua tokoh ini bukan hanya dikenal sebagai penjaga warisan suci, tetapi juga sebagai akademisi terkemuka di Arab Saudi yang berasal dari garis keturunan langsung Syaibah bin Usman bin Abi Thalhah.
Tradisi penyerahan kunci ini bukanlah sekadar seremoni administratif atau formalitas simbolik. Ia adalah lanjutan dari perintah dan sabda Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ʿalaihi wa Sallam yang berbunyi:
“خُذُوهَا يَا بَنِي طَلْحَةَ، تَأَبَّدُوا بِهَا، لاَ يَأْخُذُهَا مِنْكُمْ إِلاَّ ظَالِمٌ”
“Ambillah ini, wahai Bani Thalhah, selamanya… Tak ada yang merebutnya dari kalian kecuali orang yang zalim.”
Makna Sidânah dan Fungsi Para Sâdin
Kata sâdin berasal dari kata sidânah (السِّدَانَةُ) yang secara bahasa berarti menjaga, mengurus, dan memelihara. Dalam konteks ini, sidânah merujuk pada penjagaan terhadap Ka’bah yang mulia. Orang yang bertugas menjalankannya disebut sâdin (penjaga Ka’bah), dan secara jamak disebut as-sadanah. Tugas mereka mencakup membuka dan menutup pintu Ka’bah, mengganti kiswah (kain penutup Ka’bah), membersihkan bagian dalam Ka’bah, mencuci dindingnya dengan air Zamzam dan minyak mawar, serta menyambut para tamu kehormatan yang akan masuk ke dalamnya.
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Nabi Ismail ʿAlaihis Salām adalah penjaga pertama Ka’bah setelah membangunnya kembali bersama ayahnya, Nabi Ibrahim ʿAlaihis Salām. Kala itu, Ka’bah belum memiliki pintu. Hingga kemudian seorang Raja Yaman bernama As’ad al-Himyari datang dan menjadi orang pertama yang memasang pintu untuk Ka’bah. Sejak saat itulah diperlukan sebuah kunci untuk menguncinya.
Struktur pengelolaan Ka’bah secara resmi dimulai pada masa Qushay bin Kilab, buyut Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ʿalaihi wa Sallam. Beliau menyerahkan tugas sidânah dan hijâbah (perawatan dan pelindungan Ka’bah) kepada putranya, Abdu ad-Dâr. Warisan ini terus berlanjut secara turun-temurun hingga tiba pada keluarga Utsman bin Thalhah yang menjadi cikal bakal keluarga Bani Syaibah atau Âlu al-Syaibi.
Ka’bah dicuci secara resmi dua kali dalam setahun, yakni pada tanggal 15 Muharram dan awal bulan Sya’ban. Proses ini dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan hanya boleh dipimpin oleh seorang sâdin. Mereka menggunakan 45 liter air Zamzam, minyak mawar murni dari Thaif, gaharu pilihan dari Kamboja, dan minyak amber yang harum, semuanya digunakan untuk menyeka dan membersihkan dinding bagian dalam Ka’bah menggunakan kain khusus.
Sidânah dalam Sejarah Islam
Ketika Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ʿalaihi wa Sallam memasuki Makkah dalam peristiwa Fathu Makkah (tahun ke-8 Hijriah), hal pertama yang beliau lakukan adalah membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala yang berjumlah 360 buah. Beliau kemudian masuk ke dalam Ka’bah bersama Bilal bin Rabah dan Usamah bin Zaid, lalu melaksanakan salat di antara dua tiang yang ada di dalamnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Setelah itu, Ali bin Abi Thalib Radhiyallāhu ʿanhu mengajukan permohonan agar kunci Ka’bah diserahkan kepadanya sebagai bentuk kehormatan dan tanggung jawab. Namun, turunlah firman Allah Subḥānahu wa Taʿālā:
“إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا…”
“Sungguh, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”
(QS. an-Nisā’ [4]: 58)
Mendengar ayat ini, Rasulullah Ṣallallāhu ʿalaihi wa Sallam memanggil kembali Utsman bin Thalhah dan mengembalikan kunci tersebut seraya bersabda:
“خُذُوهَا يَا بَنِي طَلْحَةَ، تَأَبَّدُوا بِهَا، لاَ يَأْخُذُهَا مِنْكُمْ إِلاَّ ظَالِمٌ”
“Ambillah ini, wahai keturunan Thalhah, selamanya sepanjang masa. Tak ada yang akan mengambilnya dari kalian kecuali orang yang zalim.” (HR. ath-Thabrani)
Sejak saat itu, para ulama sepakat bahwa amanah menjaga dan memegang kunci Ka’bah adalah hak eksklusif keluarga Bani Syaibah. Hal ini tidak boleh direbut, bahkan oleh keluarga Nabi sendiri. Ketetapan ini diperkuat dalam banyak literatur hadis, salah satunya disebut dalam Syarh Shahih Muslim (4/481).
Ada pula kisah menarik yang memperlihatkan akhlak Nabi yang luar biasa. Sebelum hijrah, Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ʿalaihi wa Sallam pernah meminta Utsman bin Thalhah agar membuka pintu Ka’bah untuk beliau, namun Utsman menolak dengan kasar. Nabi tidak marah, hanya berkata:
“Wahai Utsman, mungkin suatu hari nanti engkau akan melihat kunci ini berada di tanganku, dan aku akan memberikannya kepada siapa pun yang aku kehendaki.”
Utsman menjawab:
“Kalau itu terjadi, sungguh kaum Quraisy telah binasa.”
Namun Nabi bersabda:
“Tidak! Justru ketika itu mereka akan mulia dan berjaya.”
Kisah ini menjadi kenyataan pada hari kemenangan Islam di kota Makkah.
Sidânah di Era Modern
Meskipun kini Masjidil Haram dikelola oleh institusi resmi Kerajaan Arab Saudi bernama ar-Ri’âsah al-‘Âmmah li Syu’ûni al-Haramain, urusan kunci Ka’bah tetap menjadi tanggung jawab keluarga Bani Syaibah. Mereka masih menyimpan kunci tersebut dalam kantong khusus dari kain kiswah, menentukan siapa yang boleh masuk ke dalam Ka’bah, serta mengatur waktu pencucian dan penggantian kiswah. Pemimpin tertinggi keluarga ini disebut Kabîr as-Sadânah, yang kini dijabat oleh Syaikh Abdul Wahhab Zainal Abidin al-Syaibi.
Pernah pada tahun 2013, terjadi polemik ketika otoritas Masjidil Haram dikabarkan mengganti gembok Ka’bah tanpa izin keluarga Bani Syaibah. Mereka segera bersurat kepada Raja Abdullah untuk menegaskan bahwa kunci Ka’bah adalah amanah Rasulullah Ṣallallāhu ʿalaihi wa Sallam, yang tidak boleh diintervensi bahkan oleh lembaga resmi sekalipun.
Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenabian yang mulia tetap hidup dan dijaga, bahkan di tengah era modern yang serba administratif.
Meskipun kebanyakan umat Islam di dunia tidak akan pernah menyentuh atau melihat langsung kunci Ka’bah, mereka patut mengetahui bahwa di balik pintu emas itu tersimpan sejarah, cinta, dan amanah yang dijaga oleh hati yang takut kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā. Syaikh Abdul Wahhab al-Syaibi hari ini bukan hanya memegang kunci fisik dari rumah Allah, tetapi juga memegang amanah langit—kunci kesadaran umat bahwa Baitullah adalah rumah yang dijaga oleh hati yang ikhlas, bukan hanya tembok dan kunci besi.
Ingin menunaikan umrah dan menyentuh langsung kemuliaan Tanah Suci?
Bersama Travel Umrah Nabawi Mulia, perjalanan Anda akan dipandu dengan amanah, profesional, dan sesuai tuntunan sunnah.
📌 Kunjungi sekarang: https://nabawimulia.co.id/
Mari jadikan umrah Anda bukan sekadar perjalanan, tapi pengalaman spiritual tak terlupakan.