Forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2025 di Jakarta (6/2) membahas berbagai persoalan penting, salah satunya mengenai penyembelihan hewan dam (denda) Haji Tamattu di luar Makkah atau Tanah Haram. Selama ini, penyembelihan hewan dam menghadapi tantangan dalam aspek pengawasan.
Mayoritas jamaah haji Indonesia melaksanakan Haji Tamattu, yakni menjalankan umrah wajib terlebih dahulu, kemudian melepas kain ihram. Konsekuensinya, mereka wajib menyembelih hewan dam berupa kambing atau domba. Sebagian besar jamaah biasanya menitipkan uang pembelian hewan dam kepada pembimbing atau pihak lain, yang pengawasannya masih sulit dilakukan.
Seiring waktu, muncul wacana agar penyembelihan dan pembelian hewan dam dilakukan di luar Makkah, bahkan di Indonesia. Gagasan ini dinilai memiliki banyak manfaat, seperti memberdayakan peternak kambing dan domba dalam negeri serta mendistribusikan dagingnya untuk pemenuhan gizi masyarakat Indonesia.
Dalam pembahasan mengenai penyembelihan hewan dam ini, Ketua Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah Munas Alim Ulama NU 2025, Cholil Nafis, menjelaskan bahwa terdapat tiga ketentuan hukum dalam hal ini. Pertama, secara normal, hewan dam seharusnya disembelih dan dibagikan di Tanah Haram.
Kedua, selama masih memungkinkan, penyembelihan wajib dilakukan di Tanah Haram. Namun, jika terdapat kebutuhan tertentu, distribusinya boleh dilakukan di luar Tanah Haram. Ketiga, apabila pengelolaan penyembelihan mengalami kendala, misalnya karena keterbatasan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) atau kesulitan mendatangkan kambing, maka diperbolehkan untuk dilakukan di luar Tanah Haram.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dam Haji Tamattu dapat disembelih dan didistribusikan di luar Tanah Haram. Namun, keputusan ini harus diambil oleh otoritas yang berwenang, yakni negara. “Keputusan mengenai kondisi darurat seperti ini harus berasal dari imam, dalam hal ini negara yang memiliki kewenangan,” jelas Cholil, yang juga Rais Syuriyah PBNU.
Ia menambahkan bahwa penyembelihan dan distribusi dam di luar Tanah Haram merupakan solusi apabila dam tidak dapat diganti dengan uang, sementara di Makkah tidak tersedia kambing atau RPH tidak dapat beroperasi. “Yang menentukan apakah ini memungkinkan atau tidak adalah imam, dalam hal ini negara. Negara yang dimaksud bisa melibatkan dua pihak, yakni Saudi dan Indonesia,” pungkasnya.