Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun, yang secara harfiah berarti “pohon”. Dalam konteks istilah, sejarah menggambarkan proses tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia, seperti halnya sebuah pohon yang tumbuh dari benih kecil, lalu menjadi besar, rindang, dan terus berkembang secara berkelanjutan. Sementara itu, istilah “haji” secara bahasa berarti “menuju” atau “mengunjungi suatu tempat”. Namun, dalam pengertian syariat Islam, haji adalah ziarah tahunan ke kota suci Makkah yang dilakukan umat Islam dengan maksud menjalankan serangkaian ibadah pada waktu-waktu tertentu, sesuai tuntunan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sejarah erat kaitannya dengan perubahan dan perjalanan waktu. Dalam Islam, sejarah pelaksanaan ibadah haji telah dimulai sejak ribuan tahun silam, tepatnya pada masa hidup Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, yang hidup antara tahun 1861 hingga 1686 Sebelum Masehi. Nabi Ibrahim sendiri merupakan keturunan dari Sam bin Nuh ‘Alaihissalam, yang hidup sekitar tahun 3900 hingga 2900 Sebelum Masehi. Dalam berbagai literatur Islam disebutkan bahwa Nabi Ibrahim dilahirkan di Urkasdim, sebuah kota penting di kawasan Mesopotamia. Setelah itu, beliau kemudian tinggal di sebuah lembah yang berada di wilayah Syam.
Ketika usia beliau telah lanjut dan belum juga dikaruniai keturunan, istrinya, Sarah, merasa sedih dan memohon kepada Ibrahim agar bersedia menikahi Hajar. Dari pernikahan tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan seorang putra bernama Ismail. Namun, kesedihan tetap menyelimuti Sarah karena ia belum juga memiliki anak dari pernikahannya sendiri. Rasa pilu tersebut mendorong terjadinya ketegangan, hingga akhirnya Nabi Ibrahim mengadukan permasalahan ini kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk membawa Hajar dan putranya, Ismail, menjauh dari Sarah. Malaikat Jibril pun turun dari langit dengan membawa kendaraan yang sangat cepat, dan mengantarkan Nabi Ibrahim beserta Hajar dan Ismail menuju wilayah Makkah. Setibanya di sana, Jibril menurunkan mereka di tempat yang kelak akan menjadi lokasi Ka’bah. Setelah itu, Nabi Ibrahim bersiap untuk kembali ke negeri Syam, meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat yang masih tandus itu.
Hajar merasa sedih karena akan ditinggalkan, tetapi Ibrahim tetap beranjak pergi. Saat tiba di sebuah bukit bernama Kuday, Ibrahim berhenti dan memandang keluarganya untuk terakhir kali sebelum benar-benar berpisah. Ia pun memanjatkan doa yang diabadikan dalam Al-Qur’an, Surah Ibrahim ayat 37:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian dari keturunanku di sebuah lembah yang tidak memiliki tanaman sedikit pun, dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dimuliakan. Ya Tuhan kami, agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan karuniakanlah kepada mereka rezeki berupa buah-buahan, agar mereka bersyukur.”
Seiring berjalannya waktu, ketika matahari mulai menyengat, bayi Ismail menangis kehausan. Hajar yang panik segera berlari ke bukit Shafa untuk mencari air, namun tidak menemukannya. Ia kemudian berlari ke bukit Marwah, tetapi tetap tak menemukan air. Hajar terus berlari bolak-balik antara Shafa dan Marwah hingga tujuh kali, tanpa menyadari jumlah tersebut karena kepanikan dan keputusasaan.
Hingga akhirnya, dari bukit Marwah, Hajar melihat bayinya telah berhenti menangis. Ia pun kembali menghampiri Ismail dan terkejut karena air memancar dari bawah kaki sang bayi. Dengan penuh semangat, Hajar mulai menggali dan membendung air tersebut sambil mengucapkan kalimat, “Zam… Zam.” Sejak saat itu, air itu dikenal oleh dunia sebagai “Zamzam” – sebuah mata air yang keberadaannya terus mengalir hingga hari ini.
Tiga hari kemudian, Nabi Ibrahim kembali ke tempat itu untuk menengok keadaan istri dan putranya. Saat itu, Hajar memohon izin kepada suaminya agar mengizinkan mereka bertetangga dengan suku Jurhum, yang beberapa waktu sebelumnya melewati daerah tersebut dan ingin menetap di sekitar sumur Zamzam. Ibrahim pun mengizinkan.
Pada kunjungan selanjutnya, Nabi Ibrahim mendapati bahwa wilayah tersebut telah berkembang dan mulai ramai dihuni oleh keturunan suku Jurhum. Hal ini membuat Ibrahim sangat bersyukur dan bahagia.
Ketika Ismail beranjak remaja, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangun Ka’bah dengan bantuan Ismail. Bersama-sama, ayah dan anak itu membangun Ka’bah hingga mencapai tinggi sekitar tujuh hasta. Setelah selesai, Malaikat Jibril menunjukkan kepada mereka posisi Hajar Aswad, yang kemudian diletakkan di salah satu sudut Ka’bah.
Setelah pembangunan selesai, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail melaksanakan ibadah haji untuk pertama kalinya. Pada tanggal 8 Dzulhijjah, Jibril kembali turun dan menyampaikan perintah kepada Nabi Ibrahim agar membagikan air Zamzam ke wilayah sekitar seperti Mina dan Arafah. Sejak saat itulah, umat Islam menjalankan ritual haji sebagai ibadah tahunan dengan mengunjungi Baitullah di Makkah.
Itulah sekelumit sejarah awal dari ibadah haji dan umrah dalam Islam, yang penuh dengan makna, perjuangan, dan kepatuhan kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga kisah ini memberikan manfaat dan menambah pemahaman kita akan asal usul ibadah mulia tersebut.